kota dan kenangan
Foto oleh Dewang Gupta, tersedia pula di Unsplash

Apa yang Harus Kulakukan pada Lebaran Kali Ini?

Apa ada hubungannya antara lebaran dengan pulang? Kau pasti mengada-ada.

Andi K. Herlan

--

Aku kaget waktu seseorang menulis: “Sejak awal aku sudah memutuskan untuk tidak membuat kenangan indah dan menyenangkan di Jakarta.”

Aku baru sadar ternyata itu yang selama ini kutanam di pikiran sehingga aku tidak ingin ada hal yang benar-benar baik dan jadi harapan yang bisa lahir di metropolitan ini.

Well. Lebih banyak waktuku tidur di Depok. Beberapa bulan di Jakarta. Tapi seperti kebanyakan orang, aku akhirnya jadi seorang commuter. Biaya hidup pasti amat mahal di pusat kota. Aku sudah yakin dan tidak ingin memeriksa dan menimbang-nimbangnya dulu.

Meski hidup sehari-hari di megakota ini, bagaimanapun juga aku tetap tidak ingin terikat secara emosional dengannya. Mulai saat itu, hari di mana aku mendeklarasikan diri untuk tidak ingin terikat dengannya, yang dengan bahasa lain, lalu baru kusadari hari ini tenyata maksud semuanya adalah sama, mulai saat itu pula berarti aku sudah kacau, tapi tak sadar.

Kau tahu? Hari-hari jadi kosong sekali rasanya mulai hari itu. Aku memang selalu menyibukkan diri. Aku sibuk berpikir tentang penerimaan kondisi baik ataupun buruk, tentang bersyukur atas semua yang didapat. Berusaha keras untuk belajar dan menerapkan itu semua sejak hari pertama tinggal. Tapi apa betul? Sepertinya tidak terasa. Aku mulai sadar perbedaan antara mendapat dan menerima. Ada cerita tentang yang diri sendiri inginkan dan yang orang lain inginkan di situ, juga tentang kepunyaan.

Aku mulai membiarkan semuanya berlalu dan berjalan sendiri, untuk tidak terlalu peduli, biar kehidupan di sini tetap jadi hal asing dan bisa dilalui begitu saja. Dan kenganan, voila, tidak akan tercipta!

Bagaimana kita bisa memaksa diri kita supaya bisa menginginkan sesuatu? Apa yang aku inginkan? Kau ingat kapan terakhir marah dan merajuk saat tidak dibelikan sesuatu, apapun itu barangnya? Atau kau sudah besar. Baiklah. Orang dewasa harus membeli sendiri segala yang diinginkannya.

Kalau begitu, kapan terakhir kau ingin memiliki sesuatu? Oh, ya. Sekarang aku ingat. Terakhir, aku ingin membeli sebuah biola untuk hiburan kalau sedang ingin sendiri. Tapi kutunda sampai hari ini. Sudah beberapa tahun lamanya. Uangnya sekarang mungkin sudah cukup. Dulu, belum. Tempo lalu aku sudah belajar pakai milik teman. Menyenangkan.

Kalau begitu ceritanya, aku ingin bertanya. Apakah masih bisa dibilang aku punya hasrat untuk memiliki sesuatu? Aku berpikir bahwa mungkin lebih baik aku menggunakan uang itu untuk keperluan lain saja, dan bisa. Tapi aku tetap memendam keinginan. Memeliharanya entah sampai kapan agar tetap begitu. Mungkin ini tidak sehat.

Sebenarnya ingin sekali ada perubahan kepemilikan, agar bisa menjalankan praktik ‘manajemen keinginan’. Juga membiarkan semua orang tahu apa yang aku inginkan dan menuntut mereka-mereka yang mungkin bisa memberikan sesuatu untukku. Aku jadi percaya aku harus belajar merampok.

Sepertinya aku sudah menjadi bagian dari kelompok kalian yang mudah terkesan pada hal-hal kecil sederhana, lalu puas dengan itu dan tidak mengharapkan apa-apa lainnya. Itulah mengapa kejadian-kejadian yang ada jadi lebih mudah. Juga hal-hal kecil, munkin hal bodoh, jadi lebih mudah masuk memori. Di manapun, kapanpun.

Sepertinya aku mulai membenci diri sendiri. Aku sudah berjanji tidak akan ada kenangan indah di kota ini. Kau tahu? Kenangan buruk pastinya mudah datang, bukan? Tapi sulit diingat. Ada yang buruk dan mudah diingat, yaitu kejadian memalukan.

Mudah bagiku untuk menyukai hal sederhana dan tiba-tiba jadi keinginan kecil, tapi sulit berusaha mendapatkan apa yang benar-benar diinginkan. The real keinginan. Alih-alih memeliharanya tetap sebagai harapan. Aku menganggap bahwa aku malas berkompetisi, dan belakangan mulai menghakiminya sebagai sakit jiwa.

Aku mulai sadar mengapa aku sudah gagal menepati janji sejak awal untuk tidak akan ada kenangan indah di kota seterkutuk ini.

Aku jadi ingat tentang impian untuk hidup berdampingan dengan tetumbuhan dan banyak pohon. Setidaknya itu yang bisa membuatku merasa berada di rumah. Hari ini, rumah orangtuaku juga begitu keadaannya. Banyak kenangan dan kerinduan yang kusimpan dalam sebuah kata “hutan”. Dan sekarang aku mulai terharu.

Lebih baik aku sudahi saja tulisan ini sekarang.

Besok, kalau ada acara panggilan video, aku ingin meminjam hati seorang perempuan yang kuat dan tegar.

--

--