Metafora Kelas Kita

Andi K. Herlan
2 min readMay 12, 2017

--

Sumber gambar

Pagi yang indah sudah semestinya disambut dengan gembira. Kicau burung yang meski hanya bersumber dari sangkar burung tetangga selayaknya didengarkan sebagai ganti kokok ayam. Saat bersamamu, teman, di dalam kamar indekos pagi-pagi begini, juga bisa diperdengarkan suara hewan lainnya. Seperti mendengar dengkuran kucing. Suara napasmu saat tidur sangat mengganggu. Sedikit lebih nyaring daripada bunyi jangkrik di tengah malam, tapi sayup. Sungguh. Mungkin kau belum pernah kenal dengan pagi yang indah begini.

Namun pagi ini barangkali bisa dibilang sedikit berbeda dari pagi-pagi lain yang pernah kulalui. Aku akan sedikit tampil beda dari biasanya. Aku akan meminjam sepatu pantofel milikmu dan mengenakannya di hadapan para HRD di sebuah perusahaan impian di negeri ini. Rasanya tidak nyaman sekali pakai sepatu semacam itu. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin aku pakai sepatu bolong-bolong kesayanganku. Kalau hujan, 90 persen air dari luar akan masuk, 10 persennya terisi pasir. Tapi, toh, sepatu itu pernah berjasa juga melawan bandit jalanan. Kau ingat?

Suatu ketika kita iseng pergi jalan-jalan. Hampir empat tahun lalu. Saat itu kita baru seminggu tiba di kota. Berhubung anak baru, gelagat kita barangkali mudah diidentifikasi sebagai sasaran empuk oleh seorang preman. Ia melancarkan aksi tanpa pikir panjang. Sebagai preman kampung tentu aku sigap pasang kuda-kuda. Demi pamer kebolehan, kukepalkan tanganku setelah kulepas sepatuku dan melemparkannya ke arah si preman. Kulihat sekilas kau sempat kebingungan. Kau memang tidak masuk kategori preman karena wajahmu terlalu imut dan punya banyak pacar. Barangkali saat itu kau bingung karena hanya pakai sandal. Satu-satunya barang lumayan berat yang bisa dipakai melawannya hanya sebuah tas. Bunuh diri namanya kalau lempar pakai tas, karena isinya adalah semua barang-barang kita. Akhirnya, ya, sudah. Sandal yang kau lempar ke arahnya. Barangkali itu sama sekali tidak akan membuat seorang preman kota bergeming. Percayalah. Dia memilih kabur bukan gara-gara sandal atau sepatu kita.

Itu hanya segelintir kenangan pada tahun pertama kita di kota ini. Sekarang mungkin sudah jauh berbeda. Kau sudah bisa bangun pagi dan menikmatinya dengan secangkir kopi buatan sendiri. Ibarat taman bunga yang luas dan hanya berisi satu jenis bunga saja. Musim mekar sangat indah. Semua tangkai bewarna kecuali satu. Saat musim berganti tangkai yang satu itu justru berbunga. Kupandang itu seperti kau. Bunga yang mekar tidak pada waktunya. Memang, barangkali secara waktu terlambat. Tapi, toh, tetap sama indahnya. Bahkan bisa saja menjadi fokus perhatian. Tetap membuat tangan-tangan jahil ingin memetikmu.

Selamat datang di dunia fana. Salam dariku, temanmu yang hanya jelmaan sebuah pion catur.

--

--

Andi K. Herlan
Andi K. Herlan

No responses yet