Perempuan Idaman Mama

Kita akan membicarakan suasana saat tulisan ini dibuat untuk menggambarkan pagiku yang santai, sebab aku masih sendiri

Andi K. Herlan
2 min readMar 6, 2021

Aku adalah seorang laki-laki. Aku menyukai perempuan. Banyak perempuan. Tapi aku hanya ingin memilih satu saja, nanti. Ibuku juga pasti inginnya begitu. Aku yakin. Apa kau setuju?

Aku sudah lama melajang. Sejak bertahun-tahun lalu. Mungkin enam atau tujuh tahun? Lupa. Tidak dihitung. Tapi aku sudah tahu rasanya menganggap serius perasaan yang bercanda. Pacaran itu bercanda. Baiklah, jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda bilang begitu. Sejujurnya tidak. Aku serius. Orang serius tidak perlu hubungan yang rumit.

Aku menulis ini pagi hari dengan mengenakan celana panjang biru gelap mendekati hitam — lelaki tidak memahami warna jadi kelihatan benar — berbahan katun yang sangat nyaman. Atasannya, kemeja lengan pendek motif kotak-kotak kecil warna biru jelas — maksudku, ini adalah warna biru yang sesungguhnya. Tidak nyaman dipakai. Tapi rapi. Semalam aku pakai untuk bermimpi. Tidak ganti kaos, karena ketiduran selepas ibadah.

Tadi malam, aku tidak meminta apa-apa pada Tuhan. Aku hanya pergi tidur begitu saja. Tapi jika nanti aku mampu memilih sendiri pasanganku, aku harap orang itu sama seperti yang Tuhan tunjuk tadi malam, malam-malam sebelumnya, dan malam-malam setelah ini. Meskipun aku tidak sempat meminta.

Penting juga jika ibuku menyukainya. Tidak. Lebih penting jika aku yang menyukainya. Aku yakin selera anak dan orangtua tidak akan jauh berbeda. Tapi kita tetap harus menyiapkan sesuatu untuk skenario terburuk. Aku agak menyesal karena langsung tertidur tadi malam. Untung pagi ini cerah dan udaranya segar. Syukurlah. Aku menyimpulkan bahwa Tuhan tidak marah karena aku lupa berdoa. Semoga aku masih ditolong.

Aku juga menulis ini dengan mengenakan kacamata lebar yang hampir bulat. Mataku sudah tidak normal lagi. Bola mataku mungkin sedikit lebih gepeng dari seharusnya, dan seolah-olah berotasi. Tapi yang lebih penting buatku hanya karena kacamata ini bisa menangkal sinar biru dari layar ketikku. Sinar biru membuat mata kita cepat lelah. Sejujurnya aku tidak ingin tulisan ini cepat selesai.

Kadang aku tidak paham kenapa kita masing-masing bisa punya opini. Maksudku begini. Aku malu untuk mengakui bahwa aku kadang merasa senang saat menulis. Malu. Karena aku menganggap bahwa menulis adalah pekerjaan yang feminin. Aku lebih senang kalau orang-orang mengenalku pandai memasak daripada bisa menulis dengan baik.

Memasak adalah pekerjaan yang macho, menurutku. Aku berpikir bahwa sejak dulu seorang ayah bertanggung jawab atas nafkah, yakni menyediakan makanan dan kebutuhan utama lainnya dalam hidup. Seorang ibu mengajari anak-anak cara mengelola perasaan. Tapi aku memang sering salah menilai. Semoga hatiku tidak. Siapa yang akan membantuku memilih? Ibuku? Sepertinya tidak mungkin. Aku malu. Menjadi terbuka, bagiku, juga feminin.

Foto oleh Hani Fildzah

--

--